Melawan diri itu lebih susah jika dibandingkan melawan orang
lain. Hal inilah yang seringkali dihadapi oleh seorang guru. Keinginan untuk
tetap memajukan bangsa itu lebih kuat dari amarahnya terhadap siswanya yang
“melawan”, keinginan untuk selalu dapat memberikan kontribusi bagi
siswa-siswanya yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa ini.
Adalah Bapak Haris, seorang guru magang dari PGSD UNSRI
Palembang. Dengan ditemani teman-teman sekuliahnya yang berjumlah 3 orang,
mereka mengajar di SD 128 Palembang, SD kenanganku bersama teman-temanku. Waktu
itu aku masih SD, masa dimana puncak-puncaknya aku bandel. Setiap siang selesai
sekolah, aku selalu bermain dengan teman-temanku. Hasilnya ? kulitku menghitam
dan aku terlihat seperti anak yang tidak terurus. Tapi terlepas dari semua
kebandelanku itu, aku merupakan salah satu anak berprestasi di SD-ku. Aku
selalu mendapat juara 1 dikelasku, yang mengahantarkan aku menjadi salah satu
anak kesayangan guru di SD-ku
Menghadapi anak SD bukan perkara yang mudah, mereka harus
ekstra sabar mengajar kami. Kami yang
seperti berandal stadium empat sangat menyusahkan mereka dalam mengajar kami.
Seringkali kami membuat mereka marah. Ujung-ujungnya tentu saja kami mandapat
hukuman dari mereka. Hukuman yang tentu saja tidak terlalu “menyiksa”, seperti
berdiri di depan kelas atau dikasih tugas tambahan.
Bapak Haris mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di
SD-ku. Pelajaran yang memang aku sukai sewaktu SD. Menurutku, pelajaran ini
menyenangkan dan memang materi yang diajarkan tidak terlalu sulit dan mudah
dipahami. Metode pembelajaran yang diberikan oleh Pak Haris juga menyenangkan.
Setiap selesai belajar satu materi, kami selalu diberikan permainan yang
berhubungan dengan materi yang kami pelajari. Inilah yang menambah kecintaanku
pada pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga, setiap pelajaran Bahasa Indonesia,
aku selalu mengangkat tangan untuk menjawab setiap pertanyaan dari Pak Haris.
Hingga pada saat Pak Haris meminta satu contoh mengenai
materi yang baru kami pelajari pada seluruh penghuni kelas, aku dengan
semangatnya mengangkat tanganku dan memberikan jawabanku. Sesaat setelah aku memberikan
jawaban yang dipintanya, beliau menyuruhku ke depan, dan merangkulku. Beliau
tersenyum kepadaku dan dengan lantang berbicara di depan kelas,” Saya bangga
dengan teman kalian yang satu ini, kalian juga harus menjadi seperti dia.” Aku
tersenyum bangga dibuatnya. Baru kali ini aku mendapat pujian langsung dari
guru yang memang kusukai.
Semakin hari, aku semakin cinta dengan Bahasa Indonesia.
Nilai-nilai ulangan Bahasa Indonesiaku juga meningkat. Peningkatan yang drastis
menurutku. Iya, tentu saja karena Bapak keren yang kusukai ini. Sempat pada
saat itu, aku berpikir ingin menjadi seperti dia. Pria tampan, baik hati dan
pintar ini. Inilah mungkin sosok manusia yang sangat pas, tentu semua orang
ingin menjadi seperti dia.
@@@
Akhir-akhir ini ayahku sering sakit-sakitan, ibuku tidak mau
memberi tahu apa sebenarnya penyakit ayahku. Aku berpikir penyakit ayahku ini parah,
dilihat dari kondisi ayahku yang semakin melemah. Mungkin ibuku tidak mau
prestasiku di sekolah menurun dikarenakan penyakit ayahku ini.
Tapi memang sepandai-pandainya menyimpan bangkai tikus, bau
busuknya akan tercium juga. Pada akhirnya aku
mengetahui penyakit ayahku sebenarnya. Saudara perempuanku memberitahuku
setelah sekian kali kupaksa dia untuk menceritakan. Ayahku mengidap penyakit kanker nasofaring yaitu kanker yang
tumbuh dibelakang rongga hidung. Aku shock dan tidak tahu harus bagaimana. Sudah banyak
uang yang dihabiskan demi terapi pengobatan ayahku. Tapi, bagaimana Allah
berkehendak lain. Ayahku pergi meninggalkan aku dan keluargaku, waktu itu aku
kelas 6 SD. Suatu pukulan yang keras bagiku sebagai anak ingusan yang belum
siap menerimanya.
Pikiranku kacau. Kacau sekacau-kacaunya limpahan batu-batu
letusan gunung berapi. Aku belum siap menerimanya. Ini berdampak buruk bagi
prestasiku si sekolah. Nilai-nilaiku banyak yang menurun, aku sering melamun di
kelas, dan kurang aktif dalam menaggapi pertanyaan guru. Hal ini menimbulkan
tanda tanya besar di otak Bapak Haris. Pada saat itu, dia memang sudah selesai
magang di SD-ku. Tapi, kepeduliannya terhadapku tidak berkurang sedikitpun. Suatu ketika setelah pulang sekolah, dia
sengaja memanggilku untuk berbicara. Seperti yang sudah kukira, dia bertanya
mengenai perihal penurunan nilai-nilaiku. Iya, aku berterus terang cerita
kepadanya. Sambil menangis tersedu-sedu aku ucapkan kata demi kata. Perasaan
iba mengangkat tangannya untuk membelai kepala lusuhku. Kemudian dia berkata,
kata yang tidak pernah kulupakan sampai sekarang “JANGAN PERNAH BIARKAN BATU
KECIL MENGHADANG KESUKSESANMU NAK”. Kata yang secara mendalam menusuk hati
kecilku. Batinku bergetar dan rasanya aku ingin meluapkan tangisku mendengar
kata-kata tersebut. Tangisku tak tertahan dan pada akhirnya aku menangis di
bahu beliau.
Hari-hariku setelah pembicaraan dengan beliau berangsur
kembali normal. Setiap aku merasa sedih, aku selalu mengingat kata-kata beliau.
Nilai-nilaiku juga kembali meningkat dan aku juga menjadi lebih aktif di kelas.
Beliau merupakan motivasiku, pahlawan yang telah meningkatkan kecintaanku pada
pelajaran dan membangkitkan aku saat aku jatuh.
Sampai sekarang, aku belum pernah bertemu kembali dengan Pak
Haris, guru yang sangat mengerti dan memahami aku. Sejak hari setelah
pembicaraanku dengan beliau, beliau diwisuda dan pergi bekerja di kota lain.
Itulah pembicaraan terakhirku dengannya.
Dan jika beliau
membaca cerita ini, aku ingin berterimakasih sekali kepada beliau. Terima kasih
telah membimbingku dan menjadi motivasiku.
“Engkau patriot
pahlawan bangsa, pembangun insan cendekia”
0 komentar:
Posting Komentar